Aleya menghela nafas lega. Terima kasih ya Allah.
Sebelum siswa kelas XI itu sempat keluar, Nadya-sang ketua kelas-maju ke depan dan memukul-mukulkan penggaris ke meja.
“Teman-teman, aku minta waktu sebentar!”Katanya tegas. Seisi kelas langsung membeku mendengarkannya.
“Sebentar lagi akan diadakan perayaan ulang tahun sekolah kita” Ujar cewek itu. “Setiap kelas diminta menampilkan suatu pertunjukkan dan wajib mengikuti bazaar. Nggak ada ketentuan akan apa yang harus ditampilkan dan dijual, semua terserah kelas masing-masing. Jadi, ada yang punya usul usul tentang apa yang akan ditampilkan?”
Tidak ada satu pun yang menjawab
“Baik” Kata Nadya lagi. “Kalau nggak ada, aku sudah membuat kuisioner untuk diisi. Tolong isi dengan benar karena kalian jugalah yang akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita harus terlebih dahulu memilih coordinator pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi coordinator mengacungkan tangan. Jangan menunjuk orang lain!”
Seisi kelas terdiam. Tak ada yang berani mengajukan diri.
Nadya mendesah kesal,”Karena gak ada yang berani untuk sementara, aku menjadi koordinatr pelaksana. Selanjutnya ada yang keberatan?”Tanyanya menyapu seluruh ruangan. Semuanya serempak menggeleng dengan keras
“Baik” Nadya membagikan lembar kuisioner yang dibuatnya. Kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan langsung kepadaku. Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru kita diskusikan. Bagaimana konsepnya.
Karla mendelik saat Nadya keluar kelas. “Well.. dikelas kita ini, she is the man,” ujarnya
Aleya mengangguk setuju. Kemudian, matanya beralih pada Sarah, dan tanpa sengaja mendengar obrolan cewek itu dengan teman sebangkunya.
“Sorry, aku lupa makalah sejarah kita,” Kata Nita, teman sebangku Sarah dengan nada menyesal.
“Gak apa-apa ,” Jawab Sarah, dia kelihatan sungguh-sungguh. Aku udah bikin tugas itu koq.
“Atas nama kita berdua?” Tanya Nita tak percaya. Sarah mengangguk
“Aduuuuh, Sarah, kamu baik banget,” Pekik Nita sambil memeluk sarah yang tampak tersenyum.
“Eh, Buat tugas bahasa Inggris, kita satu kelompok , sama Lia juga kan?” Tanya Nita seteah melepas pelukannya.
“Iya”
“Kamu udah bikin?”
Sarah menggeleng. “Belum kufikir. Kita…..”
“Eh, tolong buatin ya, Sar, aku sibuk banget nih” Pinta Nita. “Kalau harus kerja bareng, kayaknya nggak bakal ada waktu yang pas. Tadi Lia juga bilang gitu, dia sibuk banget sama cheerleader-nya. Bisa nggakamu buatin buat kelompok kita? Ayolah Sar, kamu kan, yang paling pintar…”
Sarah Nampak bingung, “Ta.. Tapi…”
“Ayolah Sar…. Ya? Ya? Ya?” Desak Nita
“I-Iya deh,” Jawab Sarah akhirnya.
“Aduuuuuuh.. Makasiiiiiih..!!” Seru Nita. “Aku mau kasih tau Lia dulu.”
Masya Allah, kasian banget Sarah. Kata Leya dalam hati. Kemudian perhatiannya beralih pada suara yang tiba-tiba meninggi dari dua meja didepannya.
“Ayolah Nad”
Doni sedang membujuk Nadya untuk melakukan sesuatu, tetapi Nadya tidak menggubrisnya.
“Aku nggak mau,” Jawab Nadya dingin
“Kita ini satu kelompok!” Ujar Doni yang tampak kehilangan kesabaran. “Seharusnya, kita kerjakan tugas ini bareng-bareng!”
Nadya meletakkan buku yang sedang dibacanya, lalu mendongak menatap Doni tajam. “Aku nggak mau,” katanya. “Kalau kita mengerjakannya sama-sama, yang bakal terjadi: aku yang mengerjakannya dan kalian tinggal menyalinnya.”
Dari ekspresi wajahnya, kelihatan sekali kalau Doni tertohok. Namun, sepertinya memang itulah yang terjadi.
“Jadi sebaiknya, masing-masing kita mengerjakannya. Lalu, pada hari yang telah ditentukan, hasilnya dikumpulkan dan dikompilasi,” Tandas Nadya
Doni terdiam. Dahinya mengernyit, masih tidak setuju dengan usul Nadya.
“Kalau kamu nggak setuju dengan usulku. Terserah..!!” Ujar Nadya seakan-akan bisa membaca fikiran Doni. “Kita bisa mengumpulkannya secara individu. Kurasa, Bu Husnanggak akan keberatan, soalnya tugas ini dijadkan tugas kelompok Cuma biar beban kita ringan saja. Dan mengerjakannya seorang diri bukan masalah besar buatku.”
Doni kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa membalas, merasa kalah.
“Terserah kamu aja, aku kasih tau yang lain,” Katanya dengan lunglai
Mengerikan…. Batin Leya membayangkan harus menghabiskan satu tahun sekelas bersama orang seperti Nadya dan Sarah
“Leya, dipanggil ma Bu Ratna” Ucapan Rima membuyarkan fikiran yang berdecam dalam batinnya.
“Iya Rima, makasih. Anterin yuk” Pinta Leya
“Ok”
***
“Jadi gini Rima, redaksi sekolah kita kekurangan pengurus. Tadi Ibu baru saja menawarkan Rima untuk jadi pengelola vernitas-nama redaksi sekolah mereka-, tapi dia malah merekomendasikan kamu. Kata Rima, kamu menonjol di bidang sastra” Tutur Bu Ratna diiringi injakan kaki Leya ke Rima.
“Masya Allah Rimaaaa.. Kamu ngaco bgt sih, koq rekomendasiin aku?” Bisik Leya dengan suara seminim mungkin
“Biarin.. wuek”
“Nyebeliiiin”
***
“Ya Ampun Rima, gimana kalo redaksi kita jadi kacau balau cuma gara-gara Leya. Kamu kan lebih pintar, kenapa ga kamu aja?” Rengek Leya setelah menerima tawaran Bu Ratna.
“Leya, Rima percaya koq kalo Leya pasti bisa. Hehehe.. semangat ah kawaaaan” Tepuk Rima di pudak Leya.
“Semangat.. semangat.. semangat.. ^_^” Teriak Leya.
***
“Dimana Sarah?” Tanya Nadya saat anggota majalah berkumpul diruang redaksi. Sarah, Nadya, Rima dan Aleya adalah pengurus redaksi dan lebih spesifiknya pengurus majalah sekolah.
“Mana aku tahu, emangnya aku baby-sitternya?” Jawab Leya asal
“Seharusnya dia sudah disini buat rapat,” gerutu Nadya. “Payah! Dia kan ketuanya!”
“Sabar dan tunggu aja” Ujar Leya yang sedang sibuk di depan computer main zuma.
Walaupun masih tampak jengkel, Nadya menurut pada Aleya. Dia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, lalu mulai membaca. Aleya seperi biasa, mengandalkan i-pod untuk menemaninya.
Majalah sekolah yang mereka kerjakan itu diberi nama Veritas oleh pendirinya, bahasa latin dari “kebenaran”. Seharusnya Veritas digawangi anak-anak kelas XII. Namun entah apa yang terjadi, sekarang tinggal Sarah--yang jelas-jelas duduk dikelas XI—yang masih tersisa. Karena itu, akhirnya, Bu Ratna mengajak paksa murid-muridnya untuk menjadi anggota tambahan.
Oleh Sarah, sang editor in chief, ketiga anggota baru tersebut diberi tanggung jawab sesuai dengan kapasitas kemampuannya masing-masing. Rima yang paling pintar bertanggung jawab atas artikel pengetahuan, baik umum maupun khusus. Nadya, si ketua kelas yang jaringan pertemanannya luas, bertanggung jawab tentang sekolah : events, serba-serbi sejarah dan lain-lain. Sementara Aleya, bertanggung jawab dalam hal sastra tentunya.
Aleya melirik jam tangannya. Pukul dua lewat, Sarah lama sekali.
“Aku mau cari Sarah,” Kata Aleya kemudian, sambil bangkit dari tempat duduknya. “Ini sudah pukul dua lewat”
Nadya dan Rima hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Lalu, kembali asyik dengan apa yang mereka lakukan.
Ternyata Sarah sedang berada di dalam kelas.
“Sarah..” Sapa Leya lembut.
Sarah mendongak
“Lagi ngapain?” Tanya Aleya. “Yang lain udah nunaggu buat rapat, Ayo Sar..”
“Ya Ampun!” pekik Sarah panic sambil memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas. “Aku lupa, bagaimana dong?”
“Emang ngerjain apa Sar?” Tanya Aleya sambil duduk didepan mejanya.
“Tugas Kimia Ley..”
“Lho, emang yang lainnya pada kemana?”
“Mereka semua pada sibuk Ley . Entahlah.” Jawab Sarah kemudian mengenggam tangan Aleya. “Ayo Leya, kita ke ruang redaksi”
“Sarah, kamu ngerasa, engg.. engg.. maaf ya Sar. Kamu merasa dimanfaatkan ga ma mereka” Tapi tidak ada jawaban dari Sarah, hanya debaman langkah mereka di koridor kelas yang terdengar.
“Maaf Sarah, bukan maksudku….” Tapi Sarah segera memotong pembicaraan Aleya
“gak apa-apa koq Leya” Senyum Sarah yang sangat manis tersungging di wajahnya yang anggun
***
“Selesai” Kata Sarah nggak lama kemudiam sambil merapi-rapikan kertas di mejanya.
“Kalo gitu, aku tunggu di luar ya’” Kata Aleya ditemani Rima
“Eh Ley!” Cegah Sarah
“Hmm?”
Sarah tampak bingung seperti sedang menimbang-nimbang hendak mengatakan sesuatu.
“Aku ini..” Katanya tanpa berani menatap mata Aleya
“Kenapa Sar?”
“Aku ini bodoh ya?” Tanya Sarah sambil menunduk. “Aku tahu aku dimanfaatin, tapi aku ga bisa nolak.”
Aleya mendesah, lalu menatap dalam-dalam karpet ruang redaksi.
“Nggak” jawabnya. “Kamu nggak bodoh. Tapi terlalu baik”
Sarah menatapnya tak percaya, kemudian tersenyum.
***
“LEYAAAA…..” Teriak Karla memenuhi selasar Gedung Serba Guna. Jantung Aleya hampir loncat mendengar teriakan Karla.
“Astaghfirullah, berhenti untuk mengagetkan aku, Karlaaaa” Cubit Leya.
“Sakit dodol.. hahaha” Karla meringis
“Karla..!! tungguin” Rindu berlari mengejar Karla. “Capeknyaaaaaa”
Mereka bertiga baru saja selesai mengikuti pelajaran olahraga. bulir keringat menghiasi wajah mereka.
“Eh, kalian nyadar ga sih? Koq Nadya ga pernah ikut olahraga ya? Dia kan ketua kelas..!” Tanya Karla
“Dia punya dispensasi khusus kali” Ndu angkat bahu, “aku denger-denger sih, dia kena anemia. Lagian ayahnya kan orang kaya. Jadi mungkin di situ juga ‘pendorong’ dispensasinya”
“Hush.. berhenti ngomongin orang. Dosa. Hahaha” usil Aleya
Mereka terdiam sejenak, tapi kemudian Karla mengangguk. Mereka bisa memaklumi.
Sebelum siswa kelas XI itu sempat keluar, Nadya-sang ketua kelas-maju ke depan dan memukul-mukulkan penggaris ke meja.
“Teman-teman, aku minta waktu sebentar!”Katanya tegas. Seisi kelas langsung membeku mendengarkannya.
“Sebentar lagi akan diadakan perayaan ulang tahun sekolah kita” Ujar cewek itu. “Setiap kelas diminta menampilkan suatu pertunjukkan dan wajib mengikuti bazaar. Nggak ada ketentuan akan apa yang harus ditampilkan dan dijual, semua terserah kelas masing-masing. Jadi, ada yang punya usul usul tentang apa yang akan ditampilkan?”
Tidak ada satu pun yang menjawab
“Baik” Kata Nadya lagi. “Kalau nggak ada, aku sudah membuat kuisioner untuk diisi. Tolong isi dengan benar karena kalian jugalah yang akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita harus terlebih dahulu memilih coordinator pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi coordinator mengacungkan tangan. Jangan menunjuk orang lain!”
Seisi kelas terdiam. Tak ada yang berani mengajukan diri.
Nadya mendesah kesal,”Karena gak ada yang berani untuk sementara, aku menjadi koordinatr pelaksana. Selanjutnya ada yang keberatan?”Tanyanya menyapu seluruh ruangan. Semuanya serempak menggeleng dengan keras
“Baik” Nadya membagikan lembar kuisioner yang dibuatnya. Kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan langsung kepadaku. Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru kita diskusikan. Bagaimana konsepnya.
Karla mendelik saat Nadya keluar kelas. “Well.. dikelas kita ini, she is the man,” ujarnya
Aleya mengangguk setuju. Kemudian, matanya beralih pada Sarah, dan tanpa sengaja mendengar obrolan cewek itu dengan teman sebangkunya.
“Sorry, aku lupa makalah sejarah kita,” Kata Nita, teman sebangku Sarah dengan nada menyesal.
“Gak apa-apa ,” Jawab Sarah, dia kelihatan sungguh-sungguh. Aku udah bikin tugas itu koq.
“Atas nama kita berdua?” Tanya Nita tak percaya. Sarah mengangguk
“Aduuuuh, Sarah, kamu baik banget,” Pekik Nita sambil memeluk sarah yang tampak tersenyum.
“Eh, Buat tugas bahasa Inggris, kita satu kelompok , sama Lia juga kan?” Tanya Nita seteah melepas pelukannya.
“Iya”
“Kamu udah bikin?”
Sarah menggeleng. “Belum kufikir. Kita…..”
“Eh, tolong buatin ya, Sar, aku sibuk banget nih” Pinta Nita. “Kalau harus kerja bareng, kayaknya nggak bakal ada waktu yang pas. Tadi Lia juga bilang gitu, dia sibuk banget sama cheerleader-nya. Bisa nggakamu buatin buat kelompok kita? Ayolah Sar, kamu kan, yang paling pintar…”
Sarah Nampak bingung, “Ta.. Tapi…”
“Ayolah Sar…. Ya? Ya? Ya?” Desak Nita
“I-Iya deh,” Jawab Sarah akhirnya.
“Aduuuuuuh.. Makasiiiiiih..!!” Seru Nita. “Aku mau kasih tau Lia dulu.”
Masya Allah, kasian banget Sarah. Kata Leya dalam hati. Kemudian perhatiannya beralih pada suara yang tiba-tiba meninggi dari dua meja didepannya.
“Ayolah Nad”
Doni sedang membujuk Nadya untuk melakukan sesuatu, tetapi Nadya tidak menggubrisnya.
“Aku nggak mau,” Jawab Nadya dingin
“Kita ini satu kelompok!” Ujar Doni yang tampak kehilangan kesabaran. “Seharusnya, kita kerjakan tugas ini bareng-bareng!”
Nadya meletakkan buku yang sedang dibacanya, lalu mendongak menatap Doni tajam. “Aku nggak mau,” katanya. “Kalau kita mengerjakannya sama-sama, yang bakal terjadi: aku yang mengerjakannya dan kalian tinggal menyalinnya.”
Dari ekspresi wajahnya, kelihatan sekali kalau Doni tertohok. Namun, sepertinya memang itulah yang terjadi.
“Jadi sebaiknya, masing-masing kita mengerjakannya. Lalu, pada hari yang telah ditentukan, hasilnya dikumpulkan dan dikompilasi,” Tandas Nadya
Doni terdiam. Dahinya mengernyit, masih tidak setuju dengan usul Nadya.
“Kalau kamu nggak setuju dengan usulku. Terserah..!!” Ujar Nadya seakan-akan bisa membaca fikiran Doni. “Kita bisa mengumpulkannya secara individu. Kurasa, Bu Husnanggak akan keberatan, soalnya tugas ini dijadkan tugas kelompok Cuma biar beban kita ringan saja. Dan mengerjakannya seorang diri bukan masalah besar buatku.”
Doni kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa membalas, merasa kalah.
“Terserah kamu aja, aku kasih tau yang lain,” Katanya dengan lunglai
Mengerikan…. Batin Leya membayangkan harus menghabiskan satu tahun sekelas bersama orang seperti Nadya dan Sarah
“Leya, dipanggil ma Bu Ratna” Ucapan Rima membuyarkan fikiran yang berdecam dalam batinnya.
“Iya Rima, makasih. Anterin yuk” Pinta Leya
“Ok”
***
“Jadi gini Rima, redaksi sekolah kita kekurangan pengurus. Tadi Ibu baru saja menawarkan Rima untuk jadi pengelola vernitas-nama redaksi sekolah mereka-, tapi dia malah merekomendasikan kamu. Kata Rima, kamu menonjol di bidang sastra” Tutur Bu Ratna diiringi injakan kaki Leya ke Rima.
“Masya Allah Rimaaaa.. Kamu ngaco bgt sih, koq rekomendasiin aku?” Bisik Leya dengan suara seminim mungkin
“Biarin.. wuek”
“Nyebeliiiin”
***
“Ya Ampun Rima, gimana kalo redaksi kita jadi kacau balau cuma gara-gara Leya. Kamu kan lebih pintar, kenapa ga kamu aja?” Rengek Leya setelah menerima tawaran Bu Ratna.
“Leya, Rima percaya koq kalo Leya pasti bisa. Hehehe.. semangat ah kawaaaan” Tepuk Rima di pudak Leya.
“Semangat.. semangat.. semangat.. ^_^” Teriak Leya.
***
“Dimana Sarah?” Tanya Nadya saat anggota majalah berkumpul diruang redaksi. Sarah, Nadya, Rima dan Aleya adalah pengurus redaksi dan lebih spesifiknya pengurus majalah sekolah.
“Mana aku tahu, emangnya aku baby-sitternya?” Jawab Leya asal
“Seharusnya dia sudah disini buat rapat,” gerutu Nadya. “Payah! Dia kan ketuanya!”
“Sabar dan tunggu aja” Ujar Leya yang sedang sibuk di depan computer main zuma.
Walaupun masih tampak jengkel, Nadya menurut pada Aleya. Dia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, lalu mulai membaca. Aleya seperi biasa, mengandalkan i-pod untuk menemaninya.
Majalah sekolah yang mereka kerjakan itu diberi nama Veritas oleh pendirinya, bahasa latin dari “kebenaran”. Seharusnya Veritas digawangi anak-anak kelas XII. Namun entah apa yang terjadi, sekarang tinggal Sarah--yang jelas-jelas duduk dikelas XI—yang masih tersisa. Karena itu, akhirnya, Bu Ratna mengajak paksa murid-muridnya untuk menjadi anggota tambahan.
Oleh Sarah, sang editor in chief, ketiga anggota baru tersebut diberi tanggung jawab sesuai dengan kapasitas kemampuannya masing-masing. Rima yang paling pintar bertanggung jawab atas artikel pengetahuan, baik umum maupun khusus. Nadya, si ketua kelas yang jaringan pertemanannya luas, bertanggung jawab tentang sekolah : events, serba-serbi sejarah dan lain-lain. Sementara Aleya, bertanggung jawab dalam hal sastra tentunya.
Aleya melirik jam tangannya. Pukul dua lewat, Sarah lama sekali.
“Aku mau cari Sarah,” Kata Aleya kemudian, sambil bangkit dari tempat duduknya. “Ini sudah pukul dua lewat”
Nadya dan Rima hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Lalu, kembali asyik dengan apa yang mereka lakukan.
Ternyata Sarah sedang berada di dalam kelas.
“Sarah..” Sapa Leya lembut.
Sarah mendongak
“Lagi ngapain?” Tanya Aleya. “Yang lain udah nunaggu buat rapat, Ayo Sar..”
“Ya Ampun!” pekik Sarah panic sambil memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas. “Aku lupa, bagaimana dong?”
“Emang ngerjain apa Sar?” Tanya Aleya sambil duduk didepan mejanya.
“Tugas Kimia Ley..”
“Lho, emang yang lainnya pada kemana?”
“Mereka semua pada sibuk Ley . Entahlah.” Jawab Sarah kemudian mengenggam tangan Aleya. “Ayo Leya, kita ke ruang redaksi”
“Sarah, kamu ngerasa, engg.. engg.. maaf ya Sar. Kamu merasa dimanfaatkan ga ma mereka” Tapi tidak ada jawaban dari Sarah, hanya debaman langkah mereka di koridor kelas yang terdengar.
“Maaf Sarah, bukan maksudku….” Tapi Sarah segera memotong pembicaraan Aleya
“gak apa-apa koq Leya” Senyum Sarah yang sangat manis tersungging di wajahnya yang anggun
***
“Selesai” Kata Sarah nggak lama kemudiam sambil merapi-rapikan kertas di mejanya.
“Kalo gitu, aku tunggu di luar ya’” Kata Aleya ditemani Rima
“Eh Ley!” Cegah Sarah
“Hmm?”
Sarah tampak bingung seperti sedang menimbang-nimbang hendak mengatakan sesuatu.
“Aku ini..” Katanya tanpa berani menatap mata Aleya
“Kenapa Sar?”
“Aku ini bodoh ya?” Tanya Sarah sambil menunduk. “Aku tahu aku dimanfaatin, tapi aku ga bisa nolak.”
Aleya mendesah, lalu menatap dalam-dalam karpet ruang redaksi.
“Nggak” jawabnya. “Kamu nggak bodoh. Tapi terlalu baik”
Sarah menatapnya tak percaya, kemudian tersenyum.
***
“LEYAAAA…..” Teriak Karla memenuhi selasar Gedung Serba Guna. Jantung Aleya hampir loncat mendengar teriakan Karla.
“Astaghfirullah, berhenti untuk mengagetkan aku, Karlaaaa” Cubit Leya.
“Sakit dodol.. hahaha” Karla meringis
“Karla..!! tungguin” Rindu berlari mengejar Karla. “Capeknyaaaaaa”
Mereka bertiga baru saja selesai mengikuti pelajaran olahraga. bulir keringat menghiasi wajah mereka.
“Eh, kalian nyadar ga sih? Koq Nadya ga pernah ikut olahraga ya? Dia kan ketua kelas..!” Tanya Karla
“Dia punya dispensasi khusus kali” Ndu angkat bahu, “aku denger-denger sih, dia kena anemia. Lagian ayahnya kan orang kaya. Jadi mungkin di situ juga ‘pendorong’ dispensasinya”
“Hush.. berhenti ngomongin orang. Dosa. Hahaha” usil Aleya
Mereka terdiam sejenak, tapi kemudian Karla mengangguk. Mereka bisa memaklumi.
kayanya kalo di buat buku bagus tuh, ceritanya unik
Makasih akang ola.. udah baca dari episode pertama?
Sring2 blog walking ya..
yg pertama udah slesai bun... agam bca yg kedua y...
keren bgt bund...
keren bgt bund... ad crita tntang kita y ? hhe...
Hahaha.. mksh agam.. ^_^
sedih ih.. kngen masa2 kita bareng dulu