Nike as kekee

Tak pernah ada sebelumnya bahagia yang teringi tangis seperti ini. Terhenyak dalam syukur yang panjang lalu tersadar bahwa kita telah berhasil. Rasa sakitnya yang dahsyat mungkin sebagai penebus predikat “IBU”. Mengiringi ucap alhamdulillah dia kecup keningku dan mengucapkan terimakasih secara tulus. Terselip bulir air mata diwajahnya. Aku berucap “Kini kamu menjadi ayah”
Proses menanti memang menegangkan sekaligus menajubkan. Rasanya itu seperti menunggu dengan siapa kita akan berjodoh. Cemas, khawatir, bahagia, deg-degan seakan menjadi satu dan memiliki porsi yang sama disetiap detiknya. Dengan mengantongi harapan bahwa suami harus menemani semakin menambah kecemasan dengan menilik jarak antara Bogor dan Sukabumi yang sekarang harus ditempuh. “Ya Allah, Semoga suamiku bisa mendampingi saat bersalin nanti” ucapku setiap ada kesempatan untuk berdo’a.

Dua puluh delapan Oktober 2014 sore hari, keluar tanda persalinan berupa bercak merah disertai lendir. Khawatir dan bahagia mulai terasa hangat dihati, buru-buru orangtuaku membawa ke pusat kesehatan. Dan ternyata belum pembukaan. Dengan perasaan yang beragam, dede dan bunda kembali lagi ke rumah. Tanpa disangka, malam itu adalah malam terakhir dede diperut bunda.

Pukul 01.00 dini hari, mulai terbangun karena merasakan kontraksi. Kontraksi berlangsung secara teratur dimulai dari 30 menit sekali sampai pada akhirnya 10 menit sekali. Berburu cintaNya, segera kuhaturkan munajat yang panjang dan dalam disepertiga malam terakhir, tangis bahagia dan khawatir membuncah jadi satu, berharap kebaikan yang terkandung dalam do’a dikabulkan olehNya. Entah mengapa, feelingku kuat bahwa hari ini akan melahirkan. Selepas shubuh, kami meluncur ke Rumah Sakit Bhayangkara Polri dan sudah pembukaan 4. “InsyaAllah, jam 9 atau jam 10 ngelahirin teh” bisik Mama.

“A, ke Sukabumi yah, aku udah ada kontraksi”. Sms singkat meluncur menuju seseorang yang sedang di Bogor.

Jalan-jalan disekitar RS bener-bener sejuk. Jadi makin betah. Ada danau, taman, banyak pepohonan dan ga terlalu ramai. Suasana ini yang dibutuhkan untuk menenangkan segumpal rasa gelisah. Dikarenakan rumah sakit berada di lingkungan Sekolah Calon Perwira, saat jalan jalan sempet liat apel pagi di lapangan dan calon perwira yang mau melanjutkan pendidikan. Tertib dan berbaris rapih. “Sayang, kalo kamu laki-laki, semoga gagah seperti itu ya” Kicauku sambil mengusap perut.

Horeeeeee, jam 07.20 Ayah udah ada di Sukabumi. Kebayang deh, pasti ngebut banget dijalan. Biasanya Bogor-Sukabumi 3 jam, hal ini dapat dipangkas menjadi hanya 2 jam. Wow suami siaga. I love you ayah hehe. Perasaan menjadi jauh lebih tenang, saat kontraksi muncul, suami berusaha menenangkan. “Tarik napas panjang, buang pelan-pelan”. Kontraksi mulai terasa 3 menit sekali pd pukul 10 pagi. Kami berhenti jalan-jalan karena kontraksi yang semakin kuat. Segera mama dan suami membawa ke ruang tindakan. Setelah diperiksa, ternyata baru mengalami 1 kemajuan pembukaan. Masih pembukaan 5.

Diruang tindakan ada 2 orang yang akan melahirkan. Saya dan seorang Ibu (yang entah siapa namanya, belum sempet kenalan bo, dia lagi sakit-sakitnya). Bangsalnya persis disebelahku, hanya tertutup tirai. Teriakannya semakin membuat aku gugup. Menjelang jam 12, kontraksiku berlangsung sangat panjang, dengan jeda istirahat yang sedikit, membuatku merasakan bahwa kontraksi ini seperti kontraksi yang ga ada berhentinya. Ditambah Ibu sebelah udah teriak-teriak ga kuat, makin menjadi-jadi sakit yang dirasa. “A, aku sakit banget” ucapku. “Dzikir de, dzikir”. -Hasbunallah wa ni’mal wakil-. Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibirku. Suamiku menggenggam erat tangan sambil membisikkan dzikir yang tidak berhenti. “Sayang, kita bertiga berjuang bersama-sama ya. Ayah, Bunda dan Kamu”

Ibu yang disebelah makin teriak dan nangis ga karuan, tepat adzan Dzuhur terdengar tangisan bayi. “Alhamdulillah, selamat ya bu” ucap petugas yang menangani persalinan sebelah. Tanpa terasa jadi ikutan terharu dan nangis. Nangis karena bahagia sekaligus merasakan kontraksi yang semakin ga berhenti-henti. hebatnya perjuangan seorang Ibu. “Sayang, semakin kuat rasa sakit yang bunda rasain, semakin dekat  kelahiranmu. Bunda tunggu ya sayang”

Setelah Ibu sebelah melahirkan, Ibunya ibu yang melahirkan (Susah amat ya), ngasih minum rebusan kayu manis dan gula merah. Lumayan buat nambah tenaga. Katanya, dengan meminum ramuan itu, pembukaan semakin cepat. Bismillah. Ga berapa lama, air ketuban meluncur deras dan tdiak tertahankan keluar.

Sekitar menjelang jam 1, yang tadinya setiap ngerasain kontraksi mengatur nafas, sekarang nafas jadi ga teratur dan mulai meracau kesakitan. Sempat menangis gara-gara suami bilang “ssstttt”. Dia gatau apa ya kalau rasanya itu –SAKITNYA DISINI- (Nunjuk perut). Sempet minta maaf juga sama suami, rasanya itu damai. Sangat merasakan bahwa kematian itu sangat dekat, dan inilah jihadnya wanita.

“Ibuuuuuu... tolong udah ga kuat bu, ga kuat” teriakku. Segera penolong persalinan berlarian kecil kearahku. “sabar ya bu, baru pembukaan 8. Sekitar jam 2, insyaAllah keluar”. Kulirik jam, ya Allah, baru jam setengah 2. Rasanya sakit. Kerinngat dingin mulai membanjiri. Suami dengan sayangnya ngelap dan terus berdzikir. Serasa disayang banget saat itu. Tangannya kuat menggenggam tanganku. Saking dahsyatnya rasa yang melanda, sempet gigit tangannya. Untung aja ga luka, Cuma lecet doang.

Sekuat tenaga berusaha ga teriak, saking nahannya jadi nangis. Tapi pada akhirnya pertahanan jebol juga. Teriak teriak lagi deh. Maafin yah. Saking hebohnya teriak, mama dan papa udah diruang tindakan. Harap harap cemas menunggu cucunya lahir kedunia. Sudah lewat jam 2, saat diperiksa baru pembukaan 9. Langsung di infus dan dirangsang pake obat suntik gitu, katanya biar mulesnya makin kerasa. YaAllah, seperti sakit yang ga berhenti dan terputus. Jeda antara mulas satu dengan mulas lainnya berlangsung sangat cepet hanya dalam itukan detik (Sempet ngitung bo. Keren kan). “YaAllah.. yaAllah.. yaAllah..” ceracauku.
“Ibu, tolong bu, gakuat pengen ee. Ga kuat bu”. “bentar ya ibu periksa –sesaat petugas persalinan memeriksa-. Belum Bu, belum bisa ngeden, ntar malah bengkak dan makin lama keluarnya”ucapnya. Allahkuuuu. Aku menangis.

Jam setelah 3 lebih (kira-kira jam segitu deh), pembukaan sudah full dan disuruh ngeden. Tapi ga keluar-keluar. Beberapa kali ngeden amsih ngga keluar juga. Udah lemes, udah ga beraturan nafasnya, udah pasrah, udah ga karuan lagi rasanya. Dengan dibantu 3 petugas, mereka berusaha menolong kami. Satu dong dari arah perut atas, satu yang berusaha mengeluarkan dan satu lagi yangmengawasi. “Ayo bu ngeden yang kuat. Jangan bersuara bu. Jangan ditutup matanya”. Aku berusaha mengikuti intruksi mereka. Setelah berlangsung cukup lama, kita istirahat dulu karena mungkin kasian liatku yang kelelahan. YaAllah, Engkaulah yang menciptakan rasa sakit ini, lapangkanlah jalan keluar anakku. Selamatkanlah kami berdua YaAllah

“Bu,ayo sekali ngeden lagi harus keluar. Ini kepalanya udah mulai keliatan”. Segera semangatku terpompa lagi, terlebih mulesnya udah ga ketahan. “Bismillah”. Dengan ngeden yang panjang kudengar sayup-sayup tangisan bayi diujung sana. Dengan rasa bahagia, lemes, dan bermacam-macam, kualirkan deras air mataku sebagai tanda kebahagiaan. Terimakasih Allahku. Mama dan Papa berhambur menujuku dan bergantian mencium keningku. Bulir air mata ada disudut mata mereka berdua. Selamat ya teh, laki-laki. Pukul 14.40, ga berapa lama adzan ashar berkumandang.

Tak pernah ada sebelumnya bahagia yang teringi tangis seperti ini. Terhenyak dalam syukur yang panjang lalu tersadar bahwa kita telah berhasil. Rasa sakitnya yang dahsyat mungkin sebagai penebus predikat “IBU”. Mengiringi ucap alhamdulillah dia (suamiku) kecup keningku dan mengucapkan terimakasih secara tulus. Terselip bulir air mata diwajahnya. Aku berucap “Kini kamu menjadi ayah”

Lengkap sudah kebahagiaan terlebih ddiampingi secara lengkap oleh suami, mama dan papa.
Dia (suamiku) mendo’akan anak kami. Mungkin diantara rasa bahagia yang pernah ada, rasa bahagia yang paling bahagia adalah di momen ini. Rasa sakit yang telah dilalui berjam-jam seakan sirna terserap oleh aura bayi ini. Petugas persalinan memberikan bayi itu untuk aku dekap dan peluk dalam kehangatan tubuhku. YaAllah nak, bunda sayang dede. Sebegitu hebatkah kamu yang telah menyirnakan rasa sakit yang sejak tadi mendera tubuh Bunda. Bunda tau, tadi kita telah ebrjuang bersama-sama dan kita sudah menjadi team yang sangat sangat kompak. Ada ayah yang selalu mendo’akan kita dan support. Ada kamu yang terus menekan kebawah mencari jalan lahir dan terakhir Bunda yang membantumu dengan tekanan.

IMD kita berhasil. Saatnya menimbang berat badan dan mengukur panjangnya. Alhamdulillah 3,5 kg dan 50 cm. “Pantesan susah keluarnya bu, gede bayinya, mana tangannya disamping kepala.” Kata ibu petugas persalinan yang kini baru aku ketahui namanya setelah memandang ejaan nama di baju tugasnya. KOKO. Terimakasih Ibu Koko sudah membantu.

Udah nyiapin nama belum teh? –kata mama-
Udah ko mah, namanya “Muhammad Najdat Altamis”
Najdat yang artinya berani. Altamis yang artinya panglima. Semoga kelak kamu menjadi panglima Nabi Muhammad yang berani. Itu do’a kami sayang. Semoga gagah seperti panglima. Kuat dan berani. Semoga sholih. Taat kepada Tuhannya, cinta Rasul dan agamanya, berbakti kepada orangtua. Selamat dunia akhirat. Diberikan rezeki yang banyak halal dan berkah. Diberikan umur yang berkah pula. Itu do’a tulus kami sayang. Aamiin

Kami namai kamu, Muhammad Najdat Altamis. Ya, Abang Altam.
0 Responses

Posting Komentar

Komentarin postingan Nike yuuu..
Sebaik-baiknya orang, yang komentarin blognya nike *sesat.com