“Masya ALLAH, Karlaaa..!! Ngagetin aku aja. Hampir copot nih jantungku” mataku terbelalak saking shocknya.
“Haha.. Hiperbol dech Leya! Hosh..Hosh.. Hosh” Desahan nafas Karla menunjukkan bahwa dia telah mengambil langkah seribu.
“Hmmh, kenapa Kar? Hampir ditikam harimau ya? Atau abis dikejar anjing? haha” Tanyaku menyindir.
“Aduh Leya, Enggak liat apa kalo aku abis lari? Tadi hampir aja ga bisa masuk sekolah. Untungnya ada Guru yang mau masuk, jadi nyelip dech. Hahaha. Ga telat lagi kan? Yeeehh.." Teriaknya girang.
"Hmmh.. Lebih cepat lima menit dari bel masuk” Ucap Karla sambil memandang jam berwarna putih yang melingkar di tangan kirinya.
“Wah. Hebat. Ini sebuah prestasi untukmu Kar, harus dikasih piala. Hehehe. Yu ah masuk. Oh ya udah ngerjain PR belum?” Aku berlalu meninggalkan teras kelas sambil memegang tangan si Perempuan berjilbab panjang yang telah menjadi teman karibku sejak di SMP dulu.
“Udah dong, Bu Gina kan Killer, bisa mati kalo belum ngerjain” Dia taruh tasnya disamping kursi Rima. Rima dan Ndu menatap heran Karla. “Assalamu’alaykum. Hey kenapa kalian? Biasa aja dong ngeliatnya! Aneh ya ngeliat Karla ga telat?” Ujar Karla menyombongkan diri.
“Waduh, anomaly ni anak! Kesambet setan apaan Kar?” Tanya Ndu yang sedang tenggelam dalam kesibukan membuat PR express. “Ga tau nih, Semoga besok bisa terus kayak gini dech. Tau gak? Harusnya tadi aku nyampe disekolah jam setengah tujuh-an. Aku berangkat jam 6 kurang tapi lagi sial nich, tiba-tiba ban motor kempes. Akhirnya keliling-keliling dulu dech sambil nyari bengkel mana nenteng-nenteng motor lagi. Jam segitu kan bengkel belum ada yang buka. Huuh, mungkin ini ujian buat perubahan Karla ”.
“Hahaha.. Lebaaayyy..” Ucap kami bersamaan. Dan tawa menggelegak dari bibir-bibir manis kami. “Ssssttt… Bu Gina datang.. Bu Gina datang..” Ucap anak-anak riuh. “Mamaaaam! PR belum selesaiiii” Jerit Ndu.
Teng.. Teng.. Teng.. Bel berbunyi, menandakan ishoma (Istirahat, Sholat dan makan) telah datang. Setelah menyirami kalbu dengan sentuhan kasih saying Illahi, kami berempat menuju tempat yang konon menjadi pusat saat syndrome busung lapar (sejenak) alias kelaparan tingkat akut yaitu KANTIN!
“Eh, eneng santri. Mau mesen apa neng?” Sapa Ibu pemilik kantin kepada kami. Ya, begitulah Ibu Minah memanggil kami, mungkin karena jilbab kami berempat yang berukuran XL (menurut dia). Rima yang kelihatan sangat lapar langsung memesan 2 mangkuk soto Bandung beserta 2 piring nasi yang banyaknya Naudzubillah ditemani 2 Jus jeruk (Eit, jangan mikir yang enggak-enggak, Ini buat Rima dan aku) ^_^. Berbeda lagi dengan Karla, cukup berkata “Kayak biasa ya bu”, Bu Minah sudah mengerti apa yang hendak diinginkannya, yaitu Nasi goring ditemani telor mata sapi setengah matang dengan catatan kuning telurnya ga pecah tak ketinggalan Susu dingin.
"Ndu.. ga makan? Tawarku. "Enggak ley, ga nafsu" lengos Ndu kearah meja yang kosong. Bu Minah sudah sangat mahir dalam hal masak memasak. Bisa dibilang makanan yang terukir lewat tubuhnya yang gempal cukup membuat lidah kami bergoyang.
"Bu, ntar anterin kesana ya” Tunjuk Karla kesebuah meja yang sudah ditempati Ndu.
Mataku terfokuskan kearah Timur laut dimana Ndu berdiri. Kulihat sinar matanya meredup, tak cerah seperti biasanya. Sifatnya benar-benar berubah 180 derajat setelah kejadian tadi pagi. Bu Gina menyuruhnya untuk tidak mengikuti pelajaran yang dia sampaikan hari itu dan konsekuansinya, Ndu harus membuat surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh orang tua Ndu. Ndu tidak bisa membayangkan betapa malu orangtuanya saat itu.
"Ndu.. jangan kayak gini. Aku kangen Ndu yang ceria" Tatap Rima penuh harap. Ndu hanya membalas dengan senyum tipis nan terpaksa.
"Ndu makan ya. Jangan banyak fikiran. Aku traktir dech.. hehe" Ndu menggeleng.
"Teman-teman.. maaf ya kalo Ndu bkin kalian pusing. Sebenernya gak ada masalah atas hukuman yang bu Gina kasih. Tapi yang bikin Ndu sakit hati, Bu Gina berani melemparkan kata-kata yang memang tidak sepatutnya diucapkan oleh orang yang beritelegensi tinggi. Orang tua Ndu aja ga pernah mengucapkan kata-kata yang seperti itu"
Kini air matanya genap membasahi pipinya yang tembam. Kuhapus dan kupeluk Sang sahabat dengan lembut.
"Yaudah, ntar kita pasti bakal ngebantuin Ndu buat minta maaf ma Bu Gina. Pokoknya Ndu sekarang tenang aja ya! Ehhhmmmm... Ndu pasti laper, makan ya?" Kulihat Ndu mengangguk lemah.
Dimalam ini, Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadaku. Kurasakan cahaya yang berpendar dihati makin lama makin luluh, jatuh dan tak berbekas. Nada flageolet yang biasanya bersiul untuk menghapus semua resahku, kini tak mengeluarkan intonasi nada sedikitpun. Percakapan tadi siang membuat rinduku membuncah melewati titik maksimum dan menyinggung sudut-sudut hati yang bertitik potong di semua kenanganku. Ndu sungguh sangat beruntung bisa merasakan kehadiran orangtua kandung dikehidupannya. Sedangkan aku? Aku adalah seorang anak panti asuhan yang diadopsi oleh keluarga yang bisa dikatakan golongan menengah keatas. Tapi dahulu, aku pernah merasakan memiliki keluarga yang utuh, saat itu kehidupanku sempurna walaupun berada dibawah garis kemiskinan.
Rekaman kusut yang telah terkubur usangnya waktu, kini mulai terurai dan dimainkan oleh fikiran dan kenangan yang tak akan penah kulupa sampai kapanpun.
“Ambilkan bulan, Bu....” Ia melantunkan lagu tersebut berkali-kali di telingaku. kadang aku merasa bosan mendengarnya, tapi ia tidak pernah lelah menghiburku. Kakakku tersayang satu-satunya, ia tidak pernah bosan menina-bobokanku dengan lagu tersebut.
“Kak, kita tidur di sini sekarang?” tanyaku. Ia tersenyum dan mengangguk. Rambut pendeknya terayun-ayun dan matanya bersinar. “Kita tidur di sini supaya bisa melihat bulan. Adek senang kan melihat bulan?” tanyanya kemudian. “Iya kak.” Jawabku pendek. Aku sangat mengantuk. Karenanya, aku segera merebahkan diri diatas tikar tua. Aku menatap langit yang terbentang luas. Pendar-pendar perak cahaya bintang kadang tampak mengabur di mataku yang tersapu angin. Suara jangkrik dari balik rumput liar begitu dekat terdengar di telingku. Sesaat kemudian, angin kali berhembus. Aku menggigil kedinginan.
“Dek, Adek kedinginan, ya?” tanya si perempua kecil berumur 12 tahun itu sambil mengusap keningku. Aku dengannya terpaut 4 tahun, kira-kira saat itu umurku baru menginjak 6tahun. Aku mengangguk pelan. Aku ingin mengatakan padanya tidak apa-apa, tapi bibirku terasa kaku.
“Pakai sarung saja, ya Dek” Ia mengambil tas kecil yang selalu tergantung di bahunya, kemudian mengeluarkan sarung kotak-kotak berwarna merah pudar. Tidak lama kemudian, seluruh tubuh kecilku sudah terbungkus oleh sarung tersebut, sarung satu-satunya peninggalan abah sebelum meninggal.
“Kak....” Aku mendesis. “Emak dan abah sekarang di mana ya?” Tanyaku. Ia terdiam mendengar pertanyaanku, mungkin bingung menjawabnya.
“Emak dan abah sekarang ada di sana.” Jawabnya kemudian sambil menengadah menatap langit malam. “Adek lihat bintang-bintang itu? Nah, bersama merekalah sekarang emak dan abah berada.” Lanjutnya. Aku terdiam. Bayangan emak dan abah satu persatu berkelebat di benakku. Terlintas siluet lelaki bertubuh kekar yang selalu terhiasi senyum yang mengembang, menggendongku dalam buaiannya, dan kurasakan bahwa perlindungannya sungguh dapat manghindarkanku dari segala macam marabahaya. Saat itu Kuambil sebuah foto yang telah usang. Kutatap wajah yang teduh, tak terasa air hangat mengalir dipipiku. Melihat itu semua, kakakku langsung menyembunyikan foto tersebut. Aku ingat, Tiga bulan yang lalu dari kejadian itu. Ya, tepat tiga bulan yang lalu emak dan abah meninggalkan kami berdua dalam kecelakaan. Kakakku bilang, walaupun emak dan abah tidur, tapi mereka tidak akan pernah bangun lagi.
Lalu semuanya berubah tiba-tiba. Para tetangga tiba-tiba saja datang dengan wajah sangar sambil berkata hal-hal yang tidak ku mengerti. Satu-satu mereka mengambil segala barang yang ada di dalam gubuk kami. Radio, kompor, panci, ember, bahkan hingga baju-baju tua ibu. Saat itu kakakku hanya menangis tersedu-sedu di sudut rumah sambil memelukku yang baru pulang bermain bersama teman sebaya.
“Dek, kita harus pergi dari sini.” Begitu katanya. “Huaaaahhhmmm....” Aku menguap lebar-lebar. Rasanya mataku berat sekali. “Kak, tidur yuk, sudah malam.” Ajakku.
Ia hanya tersenyum dan mencoba merebahkan tubuhnya, tapi tiba-tiba..
“Aduuuuh.” Ia mengaduh kecil saat punggungnya menyentuh tanah. “Kak, masih sakit punggungnya?” Tanyaku kaget. Terduduk aku memperhatikannya. “Enggak” Ia menggeleng, “Enggak apa-apa kok. Sudah kita tidur saja, yuk.” Jawabnya menghibur.
Dari sudut mataku, aku lihat matanya terpejam sambil meringis. Pasti sakit sekali pukulan orang itu siang tadi, pikirku. Aku mengeluh dalam hati. Ingatanku mengembara lagi.
Siang tadi, ketika mencari barang-barang bekas, tanpa sengaja kami melewati rumah makan besar. Dari balik kaca, terlihat orang-orang yang sedang makan. Satu demi satu potongan ayam goreng masuk ke dalam mulut mereka, dan mereka tampak sangat menikmatinya. Namun, tidak tahu mengapa penjaga rumah makan itu tiba-tiba keluar dan marah-marah pada kami. Ia bahkan mendorongku keras-keras sampai aku terjerembab. Kakaku sangat marah melihat aku terjatuh. Ia menyerang orang itu dan menggigit lengannya keras-keras. “Aaaaaaah...anak gila!!” Teriaknya.
Saat itu aku melihat tangan orang tersebut melayang ke punggung kakak yang segera tersungkur. Sesaat kami jadi tontonan orang yang lewat, hingga seorang laki-laki yang berpakaian rapi keluar dari rumah makan dan mengusir kami.
“Orang itu jahat, ya Kak.” Kataku sedih. “Kalau aku sudah besar, ia akan aku pukul, supaya punggungnya juga merasa sakit!” Ujarku.
“Adek...adek.” Ia menggumam. Matanya menatapku ramah. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa dibalik matanya tersembunyi bintang-bintang yang selalu bersinar terang. “Kalau Adek sudah besar, Adek harus jadi seperti matahari. Tidak pernah bosan memberi kebaikan pada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang jahat. Yang cahayanya membuat bulan menyinari malam. Adek pun harus dapat menerangi kegelapan. Adek harus jadi anak yang baik, sabar, dan kuat.” Katanya pelan sambil tersenyum.
Aku tidak pernah mengira bahwa itu adalah saat terakhir ia berbicara panjang lebar kepadaku karena beberapa jam kemudian dalam lelapku, antara sadar dan tidak, aku mendengar tangis pelannya menahan sakit. Tangis yang perlahan-lahan lalu menghilang berganti dengan diam yang tenang. Baru ketika azan subuh terdengar aku terbangun dan mendapatinya tertidur dengan wajah yang pucat. Betapa takutnya aku ketika kulihat di sudut bibirnya terdapat jejak berwarna merah. Serentak aku berdiri dan mengguncang-guncang tubuhnya, tapi ia tidak bergerak sedikit pun. Sama seperti emak dan abah waktu itu.
“Kak, Kakak!” Aku menatap wajahnya , mungkin mata bintangnya akan bersinar lagi. Tapi Tidak. Mata itu tetap terkatup erat. Aku menggigil. Aku takut. Aku tidak mengerti itu semua. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis. Menangis hingga orang-orang mengerumuni aku dan kakakku yang telah terbujur kaku.
“Haha.. Hiperbol dech Leya! Hosh..Hosh.. Hosh” Desahan nafas Karla menunjukkan bahwa dia telah mengambil langkah seribu.
“Hmmh, kenapa Kar? Hampir ditikam harimau ya? Atau abis dikejar anjing? haha” Tanyaku menyindir.
“Aduh Leya, Enggak liat apa kalo aku abis lari? Tadi hampir aja ga bisa masuk sekolah. Untungnya ada Guru yang mau masuk, jadi nyelip dech. Hahaha. Ga telat lagi kan? Yeeehh.." Teriaknya girang.
"Hmmh.. Lebih cepat lima menit dari bel masuk” Ucap Karla sambil memandang jam berwarna putih yang melingkar di tangan kirinya.
“Wah. Hebat. Ini sebuah prestasi untukmu Kar, harus dikasih piala. Hehehe. Yu ah masuk. Oh ya udah ngerjain PR belum?” Aku berlalu meninggalkan teras kelas sambil memegang tangan si Perempuan berjilbab panjang yang telah menjadi teman karibku sejak di SMP dulu.
“Udah dong, Bu Gina kan Killer, bisa mati kalo belum ngerjain” Dia taruh tasnya disamping kursi Rima. Rima dan Ndu menatap heran Karla. “Assalamu’alaykum. Hey kenapa kalian? Biasa aja dong ngeliatnya! Aneh ya ngeliat Karla ga telat?” Ujar Karla menyombongkan diri.
“Waduh, anomaly ni anak! Kesambet setan apaan Kar?” Tanya Ndu yang sedang tenggelam dalam kesibukan membuat PR express. “Ga tau nih, Semoga besok bisa terus kayak gini dech. Tau gak? Harusnya tadi aku nyampe disekolah jam setengah tujuh-an. Aku berangkat jam 6 kurang tapi lagi sial nich, tiba-tiba ban motor kempes. Akhirnya keliling-keliling dulu dech sambil nyari bengkel mana nenteng-nenteng motor lagi. Jam segitu kan bengkel belum ada yang buka. Huuh, mungkin ini ujian buat perubahan Karla ”.
“Hahaha.. Lebaaayyy..” Ucap kami bersamaan. Dan tawa menggelegak dari bibir-bibir manis kami. “Ssssttt… Bu Gina datang.. Bu Gina datang..” Ucap anak-anak riuh. “Mamaaaam! PR belum selesaiiii” Jerit Ndu.
Teng.. Teng.. Teng.. Bel berbunyi, menandakan ishoma (Istirahat, Sholat dan makan) telah datang. Setelah menyirami kalbu dengan sentuhan kasih saying Illahi, kami berempat menuju tempat yang konon menjadi pusat saat syndrome busung lapar (sejenak) alias kelaparan tingkat akut yaitu KANTIN!
“Eh, eneng santri. Mau mesen apa neng?” Sapa Ibu pemilik kantin kepada kami. Ya, begitulah Ibu Minah memanggil kami, mungkin karena jilbab kami berempat yang berukuran XL (menurut dia). Rima yang kelihatan sangat lapar langsung memesan 2 mangkuk soto Bandung beserta 2 piring nasi yang banyaknya Naudzubillah ditemani 2 Jus jeruk (Eit, jangan mikir yang enggak-enggak, Ini buat Rima dan aku) ^_^. Berbeda lagi dengan Karla, cukup berkata “Kayak biasa ya bu”, Bu Minah sudah mengerti apa yang hendak diinginkannya, yaitu Nasi goring ditemani telor mata sapi setengah matang dengan catatan kuning telurnya ga pecah tak ketinggalan Susu dingin.
"Ndu.. ga makan? Tawarku. "Enggak ley, ga nafsu" lengos Ndu kearah meja yang kosong. Bu Minah sudah sangat mahir dalam hal masak memasak. Bisa dibilang makanan yang terukir lewat tubuhnya yang gempal cukup membuat lidah kami bergoyang.
"Bu, ntar anterin kesana ya” Tunjuk Karla kesebuah meja yang sudah ditempati Ndu.
Mataku terfokuskan kearah Timur laut dimana Ndu berdiri. Kulihat sinar matanya meredup, tak cerah seperti biasanya. Sifatnya benar-benar berubah 180 derajat setelah kejadian tadi pagi. Bu Gina menyuruhnya untuk tidak mengikuti pelajaran yang dia sampaikan hari itu dan konsekuansinya, Ndu harus membuat surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh orang tua Ndu. Ndu tidak bisa membayangkan betapa malu orangtuanya saat itu.
"Ndu.. jangan kayak gini. Aku kangen Ndu yang ceria" Tatap Rima penuh harap. Ndu hanya membalas dengan senyum tipis nan terpaksa.
"Ndu makan ya. Jangan banyak fikiran. Aku traktir dech.. hehe" Ndu menggeleng.
"Teman-teman.. maaf ya kalo Ndu bkin kalian pusing. Sebenernya gak ada masalah atas hukuman yang bu Gina kasih. Tapi yang bikin Ndu sakit hati, Bu Gina berani melemparkan kata-kata yang memang tidak sepatutnya diucapkan oleh orang yang beritelegensi tinggi. Orang tua Ndu aja ga pernah mengucapkan kata-kata yang seperti itu"
Kini air matanya genap membasahi pipinya yang tembam. Kuhapus dan kupeluk Sang sahabat dengan lembut.
"Yaudah, ntar kita pasti bakal ngebantuin Ndu buat minta maaf ma Bu Gina. Pokoknya Ndu sekarang tenang aja ya! Ehhhmmmm... Ndu pasti laper, makan ya?" Kulihat Ndu mengangguk lemah.
Dimalam ini, Dewi Fortuna sedang tidak berpihak kepadaku. Kurasakan cahaya yang berpendar dihati makin lama makin luluh, jatuh dan tak berbekas. Nada flageolet yang biasanya bersiul untuk menghapus semua resahku, kini tak mengeluarkan intonasi nada sedikitpun. Percakapan tadi siang membuat rinduku membuncah melewati titik maksimum dan menyinggung sudut-sudut hati yang bertitik potong di semua kenanganku. Ndu sungguh sangat beruntung bisa merasakan kehadiran orangtua kandung dikehidupannya. Sedangkan aku? Aku adalah seorang anak panti asuhan yang diadopsi oleh keluarga yang bisa dikatakan golongan menengah keatas. Tapi dahulu, aku pernah merasakan memiliki keluarga yang utuh, saat itu kehidupanku sempurna walaupun berada dibawah garis kemiskinan.
Rekaman kusut yang telah terkubur usangnya waktu, kini mulai terurai dan dimainkan oleh fikiran dan kenangan yang tak akan penah kulupa sampai kapanpun.
“Ambilkan bulan, Bu....” Ia melantunkan lagu tersebut berkali-kali di telingaku. kadang aku merasa bosan mendengarnya, tapi ia tidak pernah lelah menghiburku. Kakakku tersayang satu-satunya, ia tidak pernah bosan menina-bobokanku dengan lagu tersebut.
“Kak, kita tidur di sini sekarang?” tanyaku. Ia tersenyum dan mengangguk. Rambut pendeknya terayun-ayun dan matanya bersinar. “Kita tidur di sini supaya bisa melihat bulan. Adek senang kan melihat bulan?” tanyanya kemudian. “Iya kak.” Jawabku pendek. Aku sangat mengantuk. Karenanya, aku segera merebahkan diri diatas tikar tua. Aku menatap langit yang terbentang luas. Pendar-pendar perak cahaya bintang kadang tampak mengabur di mataku yang tersapu angin. Suara jangkrik dari balik rumput liar begitu dekat terdengar di telingku. Sesaat kemudian, angin kali berhembus. Aku menggigil kedinginan.
“Dek, Adek kedinginan, ya?” tanya si perempua kecil berumur 12 tahun itu sambil mengusap keningku. Aku dengannya terpaut 4 tahun, kira-kira saat itu umurku baru menginjak 6tahun. Aku mengangguk pelan. Aku ingin mengatakan padanya tidak apa-apa, tapi bibirku terasa kaku.
“Pakai sarung saja, ya Dek” Ia mengambil tas kecil yang selalu tergantung di bahunya, kemudian mengeluarkan sarung kotak-kotak berwarna merah pudar. Tidak lama kemudian, seluruh tubuh kecilku sudah terbungkus oleh sarung tersebut, sarung satu-satunya peninggalan abah sebelum meninggal.
“Kak....” Aku mendesis. “Emak dan abah sekarang di mana ya?” Tanyaku. Ia terdiam mendengar pertanyaanku, mungkin bingung menjawabnya.
“Emak dan abah sekarang ada di sana.” Jawabnya kemudian sambil menengadah menatap langit malam. “Adek lihat bintang-bintang itu? Nah, bersama merekalah sekarang emak dan abah berada.” Lanjutnya. Aku terdiam. Bayangan emak dan abah satu persatu berkelebat di benakku. Terlintas siluet lelaki bertubuh kekar yang selalu terhiasi senyum yang mengembang, menggendongku dalam buaiannya, dan kurasakan bahwa perlindungannya sungguh dapat manghindarkanku dari segala macam marabahaya. Saat itu Kuambil sebuah foto yang telah usang. Kutatap wajah yang teduh, tak terasa air hangat mengalir dipipiku. Melihat itu semua, kakakku langsung menyembunyikan foto tersebut. Aku ingat, Tiga bulan yang lalu dari kejadian itu. Ya, tepat tiga bulan yang lalu emak dan abah meninggalkan kami berdua dalam kecelakaan. Kakakku bilang, walaupun emak dan abah tidur, tapi mereka tidak akan pernah bangun lagi.
Lalu semuanya berubah tiba-tiba. Para tetangga tiba-tiba saja datang dengan wajah sangar sambil berkata hal-hal yang tidak ku mengerti. Satu-satu mereka mengambil segala barang yang ada di dalam gubuk kami. Radio, kompor, panci, ember, bahkan hingga baju-baju tua ibu. Saat itu kakakku hanya menangis tersedu-sedu di sudut rumah sambil memelukku yang baru pulang bermain bersama teman sebaya.
“Dek, kita harus pergi dari sini.” Begitu katanya. “Huaaaahhhmmm....” Aku menguap lebar-lebar. Rasanya mataku berat sekali. “Kak, tidur yuk, sudah malam.” Ajakku.
Ia hanya tersenyum dan mencoba merebahkan tubuhnya, tapi tiba-tiba..
“Aduuuuh.” Ia mengaduh kecil saat punggungnya menyentuh tanah. “Kak, masih sakit punggungnya?” Tanyaku kaget. Terduduk aku memperhatikannya. “Enggak” Ia menggeleng, “Enggak apa-apa kok. Sudah kita tidur saja, yuk.” Jawabnya menghibur.
Dari sudut mataku, aku lihat matanya terpejam sambil meringis. Pasti sakit sekali pukulan orang itu siang tadi, pikirku. Aku mengeluh dalam hati. Ingatanku mengembara lagi.
Siang tadi, ketika mencari barang-barang bekas, tanpa sengaja kami melewati rumah makan besar. Dari balik kaca, terlihat orang-orang yang sedang makan. Satu demi satu potongan ayam goreng masuk ke dalam mulut mereka, dan mereka tampak sangat menikmatinya. Namun, tidak tahu mengapa penjaga rumah makan itu tiba-tiba keluar dan marah-marah pada kami. Ia bahkan mendorongku keras-keras sampai aku terjerembab. Kakaku sangat marah melihat aku terjatuh. Ia menyerang orang itu dan menggigit lengannya keras-keras. “Aaaaaaah...anak gila!!” Teriaknya.
Saat itu aku melihat tangan orang tersebut melayang ke punggung kakak yang segera tersungkur. Sesaat kami jadi tontonan orang yang lewat, hingga seorang laki-laki yang berpakaian rapi keluar dari rumah makan dan mengusir kami.
“Orang itu jahat, ya Kak.” Kataku sedih. “Kalau aku sudah besar, ia akan aku pukul, supaya punggungnya juga merasa sakit!” Ujarku.
“Adek...adek.” Ia menggumam. Matanya menatapku ramah. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa dibalik matanya tersembunyi bintang-bintang yang selalu bersinar terang. “Kalau Adek sudah besar, Adek harus jadi seperti matahari. Tidak pernah bosan memberi kebaikan pada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang jahat. Yang cahayanya membuat bulan menyinari malam. Adek pun harus dapat menerangi kegelapan. Adek harus jadi anak yang baik, sabar, dan kuat.” Katanya pelan sambil tersenyum.
Aku tidak pernah mengira bahwa itu adalah saat terakhir ia berbicara panjang lebar kepadaku karena beberapa jam kemudian dalam lelapku, antara sadar dan tidak, aku mendengar tangis pelannya menahan sakit. Tangis yang perlahan-lahan lalu menghilang berganti dengan diam yang tenang. Baru ketika azan subuh terdengar aku terbangun dan mendapatinya tertidur dengan wajah yang pucat. Betapa takutnya aku ketika kulihat di sudut bibirnya terdapat jejak berwarna merah. Serentak aku berdiri dan mengguncang-guncang tubuhnya, tapi ia tidak bergerak sedikit pun. Sama seperti emak dan abah waktu itu.
“Kak, Kakak!” Aku menatap wajahnya , mungkin mata bintangnya akan bersinar lagi. Tapi Tidak. Mata itu tetap terkatup erat. Aku menggigil. Aku takut. Aku tidak mengerti itu semua. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis. Menangis hingga orang-orang mengerumuni aku dan kakakku yang telah terbujur kaku.
ceritanya bagus.gaya bahasanya jg mantab,terus berkarya
@ Mas Wito Al-Faqir :: Syukron jiddan mas.. Doakan ya mas smg bsa jadi analis sekaligus penulis, aktivis dan pianis.. hehe